Kamis, 26 Mei 2011

Keseragaman tata laksana dalam satu kawasan pertambakan terbukti ampuh mengontrol laju penyakit


Keberhasilan penerapan budidaya udang intensif juga dinikmati Sutomo, petambak asal Desa Remen Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban Jawa Timur. Menurut Sutomo, komunikasi antar petambak udang menentukan kesuksesan produksi udang dalam satu kawasan. Lebih dari sekadar kuantitas produksi, komunikasi membantu teratasinya penyakit dan kelestarian daya dukung tambak.Petambak di daerahnya selalu menjalin komunikasi, terutama petambak di kawasan tambak semi intensif Tasikharjo, sebuah kawasan di Kecamatan Jenu. “Meski kita tak punya wadah formal tetapi kita saling berkunjung dan berkumpul untuk tukar pengalaman atau berbagi masalah,”ungkap pria yang didaulat sebagai juru bicara kelompok tersebut.
Menurut pemilik 5 hektar tambak ini, manajemen budidaya dan penanganan penyakit di daerahnya rata-rata seragam karena adanya komunikasi. Seperti penggunaan sumur bor sebagai sumber air tambak, aplikasi sipon (shiftpond = menyedot lumpur dasar tambak  secara rutin selama budidaya), penyemprotan dasar tambak di masa istirahat, dan kekompakan menunda tebar saat ada petakan tambak terjangkit penyakit. Hasilnya, produksi rata-rata mencapai 20 ton per hektar dengan padat tebar 125 - 150 ekor/m2 dan daya tahan hidup 90 %.
Kejadian penyakit di satu petak, tidak akan ditutup-nutupi oleh pemilik. “Kalau ‘hanya’ myo tidak terlalu khawatir. Tapi kalau positif white spot, kami serempak menunda tebar 1 – 2 bulan, sambil memantau serangannya terlokalisir atau menyebar,” terangnya. Menurut Sutomo, kunci pokok dari keberhasilan manajemen budidaya tambak yang dilakukannya yaitu sumber air yang baik, benur berkualitas prima dari hatchery terpercaya, dan manajemen tambak yang benar.
Baca artikel selengkapnya di majalah Trobos Edisi edisi April 2011
*foto :pengeringan di tambak pak sutomo

Selasa, 24 Mei 2011

Imunostimulan


Tahan Banting dengan Imunostimulan
Karena tidak mempunyai  sistem kekebalan spesifik, udang tidak bisa diberi vaksin.
Udang termasuk hewan tingkat rendah. Karena itu ia tidak dikaruniai sistem kekebalan sempurna. Sistem kekebalan tubuhnya bersifat nonspesifik. Agar tahan terhadap infeksi mikroba maupun parasit, udang perlu dirangsang untuk menciptakan ketahanan tubuh terhadap serangan penyakit.
Menurut para ahli perikanan, terdapat beragam bahan yang dapat digunakan sebagai sumber imunostimulan (perangsang kekebalan) nonspesifik. Di antaranya adalah derivat dari sel bakteri, ragi, algae, rumput laut, pigmen, asam amino, asam lemak, vitamin, mineral, serta ekstrak tumbuhan maupun hewan. Dari beragam bahan itu, komponen pakan yang telah diuji dan mampu meningkatkan ketahanan udang adalah laminarin, barley glucan, laktoferin, levamisol, lipopolisakarida, kurdian, skleroglukan, zymosan, scizophyllan, inulin, chitosan, รข-1,3 glucan, dextran, lentinan, krestin, saponin, ekstrak herbal, peptidoglikan, dan muramil dipeptida (MDP).
Bahan lain yang juga bisa berfungsi sebagai imunostimulan adalah manan oligosakarisa, bakteri patogen yang telah dilemahkan, asam amino tertentu, dan probiotik (bakteri Bacillus subtilis dan Vibrio alginolyticus var villie). Bahan tersebut telah diuji dengan tiga cara. Pertama, udang direndam dalam suspensi cairan. Kedua, dengan memberikan melalui oral dicampur pakan. Ketiga dengan cara penyuntikan. Cara yang paling baik, sebenarnya adalah penyuntikan. Tapi dalam pelaksanaannya kurang praktis, dan tidak mungkin dilakukan secara massal. Cara penyuntikan bisa dilakukan kepada indukan atau untuk stok genetik.
Lipopolisakarida
Penggunaan imunostimulan paling banyak dipublikasikan adalah kelompok lipopolisakarida. Bahan yang terbuat dari dinding sel bakteri gram negatif itu dikenal sebagai imunostimulan potensial dalam pencegahan penyakit. Bakteri kelompok itu antara lain adalah Vibrio. Vibrio ini satu-satunya bakteri patogen yang sering menyerang perudangan budidaya secara komersial. 
Pada 1997 dan 1998, International Aquaculture Biotechnologies Ltd, bersama petambak besar di Honduras mengevaluasi kemungkinan penggunaan lipopolisakarida (LPS) untuk mencegah serangan penyakit taura syndrome virus (TSV) pada udang Vanname (Litopenaeus vannamei). Benur (post larva-PL) Vanname direndam dalam larutan LPS. Kemudian direndam dalam air yang mengandung larutan TSV virulen (ganas).
Percobaan pertama, PL direndam dalam larutan LPS selama 24 jam. Kemudian direndam dalam air yang mengandung lima tingkatan konsentrasi virus berbeda selama 24 jam. Hasilnya, PL yang bertahan rata-rata 141% dibandingkan kontrol.
Percobaan kedua, udang diberi perlakuan perendaman LPS selama 6 hari. Kemudian direndam dalam larutan suspensi virus. Hasilnya, PL dapat bertahan rata-rata 89% lebih tinggi ketimbang kontrol.
Dari kedua percobaan menunjukkan, udang memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap virus setelah diberi perlakuan perendaman LPS. Efek nonspesifik dan hasil yang serupa juga diperlihatkan pada beberapa jenis virus.
Uji lapang telah dilakukan di beberapa areal yang terjadi kasus serangan virus. Di Thailand, awal endemi penyakit bercak putih (WSSV), percobaan dilakukan pada benur udang windu. Sebelum ditebar, benur direndam LPS. Pakan pun dicampur LPS dengan periodik selama 7 hari, dari hari ke-30 hingga hari ke-90. Hasilnya, rata-rata dari lima kolam perlakuan diperoleh peningkatan kelangsungan hidup (SR) 25%.
Uji coba skala besar juga dilakukan di Indonesia pada tambak  yang terkena masalah WSSV  serius. Sebanyak 65 kolam diberi perlakuan LPS. Sebelum ditebar, benur direndam LPS. Pakan juga dicampur LPS. Hasilnya, 62 kolam selamat, sementara tiga kolam lainnya terserang bercak putih.
Peptidoglikan
Bahan ini merupakan gabungan senyawa protein (peptida) dan polisakarida yang merupakan derivat dari dinding sel bakteri gram positif. Jenis bakteri yang digunakan sebagai sumbernya antara lain Bacillus, Bifidobacterium, dan Brevibacterium.
Pada 1995, Bonyaratpalin menguji daya tahan udang terhadap serangan virus penyebab penyakit kepala kuning (yellow head disease) dengan peptidoglikan yang berasal dari dinding sel Brevibacterium. Sedangkan Itami pada 1998 menguji peptidoglikan dari sumber Bifidobacterium, terhadap kemungkinan serangan white spot.
Demikian juga Takahashi, pada 1998 meneliti kemungkinan serangan WSSV. Namun sumber peptidoglikannya berasal dari campuran beberapa species Bacillus. Pada kontrol, udang yang hidup tinggal 5%. Sementara pada perlakuan terendah (1 mg per kg bobot badan), udang yang hidup lebih dari 60%.

VIRUS WS

Menangkal White Spot dengan Biofilter
White spot (WS), si penyakit udang paling menyeramkan, ternyata bisa diamankan dengan biosekuriti yang berdasarkan ekosistem atau biofilter.
Pembudidaya vanname asal Bandengan, Kendal, Agus Muhtianto telah membuktikan hal itu. “Bahkan memakai kaporit (untuk sterilisasi air) saja tidak,” ujarnya senang. Dengan nihilnya bahan kimia itu, tambaknya yang seluas enam hektarnya memperoleh akreditasi B tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dari Ditjen Perikanan Budidaya.
Dalam budidayanya, Agus bekerjasama dengan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, Dinas Kelautan dan Perikanan Kendal, dan PT Suri Tani Pemuka. Bila digambarkan, sistem budidaya tersebut terdiri dari tandon pertama (isi bandeng dan ikan predator), tandon kedua (isi benih bandeng dan udang windu untuk produksi tokolan), kolam sabuk (bandeng), dan kolam inti (Vanname). 
Agus yang berhenti bertambak udang windu pada 2003 akibat WS ini mulai mencoba tambak polikultur 2007. Di tambaknya seluas 6.000 m2 ia menebar bandeng dan windu masing-masing 5.000 ekor. “Ternyata udangnya selamat. Padahal dulu umur 1—2 bulan kematian karena WS sampai 90%,” ujarnya.
Dari hasil itu Agus yakin fungsi bandeng sebagai biofilter yang memperbaiki kualitas air dengan cara makan lumut dan ganggang. “Bandeng berfungsi untuk mencegah terjadinya blooming plankton dan mikroalga,” ucap ayah tiga anak ini. Tidak munculnya WS, menurutnya, karena peran ikan-ikan predator yang ikut terpelihara secara liar, seperti keting, kakap, tawes, mujair, dan gabus. “Udang liar sakit dan mati akan dimakan ikan-ikan predator ini sehingga tidak sempat menularkan WS,” terangnya.
Sistem Tandon
Setelah itu Agus menyempurnakan sistem tandonnya. Sekitar 40% dari 12 ha petakan tambaknya dijadikan tandon air. Sistem tandon ini terbagi atas kolam tandon pertama, kedua, dan kolam sabuk. Aliran air mulai dari tandon pertama, kedua, kolam sabuk, dan baru ke kolam udang. Atau dari tandon pertama dapat langsung ke kolam sabuk bila tandon kedua sedang diistirahatkan. Di antara kolam sabuk dengan kolam udang terdapat sekat berupa tanggul dan waring. Waring ini berfungsi mencegah masuknya hewan-hewan liar.
Tandon pertama dan kedua terdiri dari beberapa petak kolam untuk membuat aliran air membentuk zigzag sehingga perjalanan air menjadi lebih panjang. Panjang aliran dari tandon pertama hingga kolam sabuk mencapai satu kilometer. Pada kolam sabuk, air harus memutar lagi sekitar satu kilometer untuk kemudian dimasukkan ke kolam-kolam udang. Proses filterisasi oleh bandeng dan pembersihan bangsa udang-udangan yang menjadi inang penyakit oleh ikan-ikan predator pun berlangsung lebih sempurna.
Tandon kedua juga sebagai kontrol kualitas air yang masuk dari tandon pertama. Di tandon ini dipelihara benih bandeng 15.000 ekor dan udang windu hingga ukuran tokolan (umur satu bulan) secara bergantian. Jika ikan yang dipelihara pada tandon kedua tidak mengalami masalah, air tersebut aman bagi udang.
Tandon pertama dan kolam sabuk yang sama-sama berukuran 2 ha ditebari nener bandeng 15.000 ekor per bulan. Menurut Bendahara Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Tirta Mina Sari ini, bandeng dipanen dua minggu sekali. Hasilnya 600 kg sampai satu ton per bulan. Jika harga dipatok Rp11.000 per kg, pendapatannya dari bandeng mencapai Rp11 juta per bulan. Dikurangi biaya benih nener Rp1,5 juta, keuntungannya sekitar Rp9,5 juta per bulan.
Sedangkan hasil panen udang windu dari kolam tandon mencapai 20—25 kg size 15—40 per minggu. Bila harganya Rp60.000 per kg, bonus dari udang sekitar Rp6 juta per bulan. Benih yang ditebar ke kolam berukuran tokolan sebanyak 20.000 ekor seharga Rp100 per ekor per bulan. Jadi, biaya benih mencapai Rp2 juta per bulan. Keuntungan yang diterima sebanyak Rp4 juta per bulan. Untuk mencapai size panen tersebut, butuh waktu tiga bulan dengan SR 30%—50%. Ukuran udang yang lebih dari size 40, dikembalikan lagi ke kolam agar tumbuh besar.
Seluruh kolam tandon dikuras setahun sekali. Dalam pengurasan ini biasanya diperoleh ikan liar, seperti kakap, mujair, dan keting hingga 2,5 ton. Kalau harganya rata-rata Rp8.000 per kg, maka terdapat keuntungan bersih Rp20 juta per tahun atau lebih dari Rp1,5 juta per bulan.
Tandon kedua seluas 6.500 m2 ditebari 300 ribu—500 ribu benur seharga Rp10 per ekor. Sebulan kemudian dapat dipanen tokolan windu senilai Rp100 per ekor dengan SR 30%—50%. Sehingga dengan modal benur Rp5 juta per bulan, Agus meraup untung hingga Rp20 juta.
Setelah ditebar benur, kolam ditambah nener agar terjadi perbaikan kualitas air. Sekali tebar sekitar 600 ribu ekor dengan SR 50%—80%. Harga nener Rp17 per ekor dan setelah menjadi gelondongan dijual Rp100 per ekor. Dengan SR 50%, perolehan bersihnya sebesar Rp20 juta.
Agus yang juga penjual benih dan agen pakan ini untung besar lantaran seluruh ikan pada kolam tandonnya tidak diberi pakan. Ikan-ikan ini hidup dalam ekosistem yang alami sehingga biayanya untuk beli benih. Dengan cara seperti itu, putaran uangnya cepat dan risiko gagalnya relatif  kecil. Tambak pun aman dari WS.
Keuntungan Vanname
Pada 8 unit kolam inti seluas 5,5 ha, Agus memelihara Vanname 500 ribu ekor selama 4 bulan. Pengalaman pertamanya pada 2010 ini menghasilkan 3,2 ton size 60 dengan SR 30%—70%. Bila harga jual dihitung Rp40.000 per kg dan biaya pakan serta benih mencapai Rp37,9 juta dan Rp14 juta, maka Agus meraih pendapatan Rp128 juta.
Kecilnya SR, menurut Agus, bukan karena WS tapi karena kekurangan oksigen akibat meledaknya populasi hidrilla di permukaan kolam. Populasi bandeng tidak sanggup menghabiskannya. Karena itu ia merencanakan penggunaan kincir pada waktu mendatang.  Selain udang, ia pun memanen 7 kuintal bandeng senilai Rp7,7 juta. Sebuah keuntungan yang cukup signifikan.