Selasa, 24 Mei 2011

VIRUS WS

Menangkal White Spot dengan Biofilter
White spot (WS), si penyakit udang paling menyeramkan, ternyata bisa diamankan dengan biosekuriti yang berdasarkan ekosistem atau biofilter.
Pembudidaya vanname asal Bandengan, Kendal, Agus Muhtianto telah membuktikan hal itu. “Bahkan memakai kaporit (untuk sterilisasi air) saja tidak,” ujarnya senang. Dengan nihilnya bahan kimia itu, tambaknya yang seluas enam hektarnya memperoleh akreditasi B tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dari Ditjen Perikanan Budidaya.
Dalam budidayanya, Agus bekerjasama dengan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, Dinas Kelautan dan Perikanan Kendal, dan PT Suri Tani Pemuka. Bila digambarkan, sistem budidaya tersebut terdiri dari tandon pertama (isi bandeng dan ikan predator), tandon kedua (isi benih bandeng dan udang windu untuk produksi tokolan), kolam sabuk (bandeng), dan kolam inti (Vanname). 
Agus yang berhenti bertambak udang windu pada 2003 akibat WS ini mulai mencoba tambak polikultur 2007. Di tambaknya seluas 6.000 m2 ia menebar bandeng dan windu masing-masing 5.000 ekor. “Ternyata udangnya selamat. Padahal dulu umur 1—2 bulan kematian karena WS sampai 90%,” ujarnya.
Dari hasil itu Agus yakin fungsi bandeng sebagai biofilter yang memperbaiki kualitas air dengan cara makan lumut dan ganggang. “Bandeng berfungsi untuk mencegah terjadinya blooming plankton dan mikroalga,” ucap ayah tiga anak ini. Tidak munculnya WS, menurutnya, karena peran ikan-ikan predator yang ikut terpelihara secara liar, seperti keting, kakap, tawes, mujair, dan gabus. “Udang liar sakit dan mati akan dimakan ikan-ikan predator ini sehingga tidak sempat menularkan WS,” terangnya.
Sistem Tandon
Setelah itu Agus menyempurnakan sistem tandonnya. Sekitar 40% dari 12 ha petakan tambaknya dijadikan tandon air. Sistem tandon ini terbagi atas kolam tandon pertama, kedua, dan kolam sabuk. Aliran air mulai dari tandon pertama, kedua, kolam sabuk, dan baru ke kolam udang. Atau dari tandon pertama dapat langsung ke kolam sabuk bila tandon kedua sedang diistirahatkan. Di antara kolam sabuk dengan kolam udang terdapat sekat berupa tanggul dan waring. Waring ini berfungsi mencegah masuknya hewan-hewan liar.
Tandon pertama dan kedua terdiri dari beberapa petak kolam untuk membuat aliran air membentuk zigzag sehingga perjalanan air menjadi lebih panjang. Panjang aliran dari tandon pertama hingga kolam sabuk mencapai satu kilometer. Pada kolam sabuk, air harus memutar lagi sekitar satu kilometer untuk kemudian dimasukkan ke kolam-kolam udang. Proses filterisasi oleh bandeng dan pembersihan bangsa udang-udangan yang menjadi inang penyakit oleh ikan-ikan predator pun berlangsung lebih sempurna.
Tandon kedua juga sebagai kontrol kualitas air yang masuk dari tandon pertama. Di tandon ini dipelihara benih bandeng 15.000 ekor dan udang windu hingga ukuran tokolan (umur satu bulan) secara bergantian. Jika ikan yang dipelihara pada tandon kedua tidak mengalami masalah, air tersebut aman bagi udang.
Tandon pertama dan kolam sabuk yang sama-sama berukuran 2 ha ditebari nener bandeng 15.000 ekor per bulan. Menurut Bendahara Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Tirta Mina Sari ini, bandeng dipanen dua minggu sekali. Hasilnya 600 kg sampai satu ton per bulan. Jika harga dipatok Rp11.000 per kg, pendapatannya dari bandeng mencapai Rp11 juta per bulan. Dikurangi biaya benih nener Rp1,5 juta, keuntungannya sekitar Rp9,5 juta per bulan.
Sedangkan hasil panen udang windu dari kolam tandon mencapai 20—25 kg size 15—40 per minggu. Bila harganya Rp60.000 per kg, bonus dari udang sekitar Rp6 juta per bulan. Benih yang ditebar ke kolam berukuran tokolan sebanyak 20.000 ekor seharga Rp100 per ekor per bulan. Jadi, biaya benih mencapai Rp2 juta per bulan. Keuntungan yang diterima sebanyak Rp4 juta per bulan. Untuk mencapai size panen tersebut, butuh waktu tiga bulan dengan SR 30%—50%. Ukuran udang yang lebih dari size 40, dikembalikan lagi ke kolam agar tumbuh besar.
Seluruh kolam tandon dikuras setahun sekali. Dalam pengurasan ini biasanya diperoleh ikan liar, seperti kakap, mujair, dan keting hingga 2,5 ton. Kalau harganya rata-rata Rp8.000 per kg, maka terdapat keuntungan bersih Rp20 juta per tahun atau lebih dari Rp1,5 juta per bulan.
Tandon kedua seluas 6.500 m2 ditebari 300 ribu—500 ribu benur seharga Rp10 per ekor. Sebulan kemudian dapat dipanen tokolan windu senilai Rp100 per ekor dengan SR 30%—50%. Sehingga dengan modal benur Rp5 juta per bulan, Agus meraup untung hingga Rp20 juta.
Setelah ditebar benur, kolam ditambah nener agar terjadi perbaikan kualitas air. Sekali tebar sekitar 600 ribu ekor dengan SR 50%—80%. Harga nener Rp17 per ekor dan setelah menjadi gelondongan dijual Rp100 per ekor. Dengan SR 50%, perolehan bersihnya sebesar Rp20 juta.
Agus yang juga penjual benih dan agen pakan ini untung besar lantaran seluruh ikan pada kolam tandonnya tidak diberi pakan. Ikan-ikan ini hidup dalam ekosistem yang alami sehingga biayanya untuk beli benih. Dengan cara seperti itu, putaran uangnya cepat dan risiko gagalnya relatif  kecil. Tambak pun aman dari WS.
Keuntungan Vanname
Pada 8 unit kolam inti seluas 5,5 ha, Agus memelihara Vanname 500 ribu ekor selama 4 bulan. Pengalaman pertamanya pada 2010 ini menghasilkan 3,2 ton size 60 dengan SR 30%—70%. Bila harga jual dihitung Rp40.000 per kg dan biaya pakan serta benih mencapai Rp37,9 juta dan Rp14 juta, maka Agus meraih pendapatan Rp128 juta.
Kecilnya SR, menurut Agus, bukan karena WS tapi karena kekurangan oksigen akibat meledaknya populasi hidrilla di permukaan kolam. Populasi bandeng tidak sanggup menghabiskannya. Karena itu ia merencanakan penggunaan kincir pada waktu mendatang.  Selain udang, ia pun memanen 7 kuintal bandeng senilai Rp7,7 juta. Sebuah keuntungan yang cukup signifikan.

2 komentar: